ilustrasi (sumber: maduramu.com) |
Secara etimologi, politik berasal dari bahasa Yunani dan berkaitan erat dengan sejarah Yunani kuno. Kehidupan Yunani Kuno terorganisir dalam polis-polis, (kerap disalah artikan sebagai negara kota), yang berarti publik, sebuah dimensi partisipatif dalam komunitas. Aktifitas dalam mengurus urusan publik inilah yang disebut politik. Aktifitas yang semata-mata hanya bertujuan untuk mengusahakan kesejahteraan bersama.
Urusan publik dalam suatu masyarakat yang beragam menjadi tantangan bagi masyarakat itu sendiri. Sebab, keberagaman meniscayakan perbedaan pendapat berdasarkan latar belakang ideologis. Keberagaman suatu masyarakat dapat ditemui di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di negeri yang warga negaranya beragam ini, urusan publik dan kerumitan membuat suatu keputusan bersama selalu berusaha diselesaikan dengan narasi toleransi meskipun pada akhirnya keputusan bersama selalu memberikan porsi lebih bagi masyarakat mayoritas pengemban salah satu ideologi. Dengan kata lain, tidak ada yang publik di Indonesia, hanya kumpulan komunal.
Masyarakat mayoritas pengemban salah satu ideologi yang dimaksud penulis di sini adalah masyarakat penganut ajaran islam sebagai ideologi. Berdirinya Indonesia dari bangsa menuju negara yang berdaulat memang tak lepas dari peran masyarakat Islam yang begitu besar. Fakta tersebut mudah ditemukan di banyak literatur kesejarahan Indonesia. Namun di balik peran besar itu, justru membuat masyarakat Islam sejak dulu hingga sekarang tetap mempraktikkan politik rekognisi atau politik pengakuan yang tentunya akan mengancam persatuan di antara keberagaman masyarakat Indonesia dan memunculkan penilaian “watak diskriminatif” dari penganut agama lain.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, urusan publik di masyarakat yang beragam akan menghasilkan keputusan-keputusan yang memberi porsi lebih bagi salah satu mayoritas umat beragama saja telah menjadi kenyataan. Hal tersebut tercermin dari penghapusan tujuh kata di Piagam Jakarta hingga legislasi hukum islam ke dalam tata negara. Fakta ini sebenarnya bermuara pada tiga persoalan dilematis yang diselesaikan secara dialektis maupun kompromistis, yakni peran sentral islam sebagai pembangun negara, keragaman agama, dan persatuan nasional.
Persoalan yang telah disebutkan di atas sebetulnya telah diselesaikan oleh pendiri negara ini dan dilanjutkan oleh elit-elit politik dengan spirit keislamannya. Umat islam yang secara statistik menjadi mayoritas di negeri ini telah mendapatkan kedudukan tinggi dan dominan di antara umat beragama lainnya. Namun, realitas politik di Indonesia hari-hari ini telah berganti orientasi. Ruang publik pada pra-kemerdekaan yang sarat akan kompetisi ideologi kini menjadi kompetisi elektoral di antara para elit oligarkis.
Nuansa oligarkis yang dipraktikkan dalam perpolitikan Indonesia memang tidak selaras dengan amanat konstitusi yang menghendaki sebuah negara yang demokratis. Persoalan tersebut berasal dari satu sumber masalah pokok. Sumber masalah tersebut adalah mental feodal yang melekat pada bangsa Indonesia. Mental tersebut tentunya diwariskan sejak zaman kerajaan-kerajaan. Sehingga bangsa Indonesia belum siap beralih dari bangsa feodalistik menuju bangsa yang demokraris. Sayangnya, beberapa oknum elit politik Islam juga memperparah kondisi tersebut dengan cara memberikan surplus ideologis agar praktik oligarkis memiliki label syariah sehingga mudah diterima oleh seluruh elemen masyarakat.
Berdasarkan realitas politik Indonesia itu, perlu kiranya untuk belajar dari pengalaman dari negara Mesir yang pernah menjadi negara terbelakang karena masalah ekonomi. Saat itu, sesungguhnya bangsa Mesir miskin karena dikuasai oleh kaum elit yang mengorganisir masyarakat demi keuntungan kelompoknya dan mengorbankan rakyat. Kekuatan politik terkonsentrasi pada segelintir orang dan hanya dimanfaatkan untuk mengeruk kemakmuran bagi pemegang kekuasaan. Alasan yang paling sering dilontarkan oleh media adalah karena kondisi geografis Mesir. Bertolak belakang dengan kondisi Indonesia yang memiliki kekayaan sumber daya alam, sehingga tidak logis apabila Indonesia menjadi negara yang tak kunjung maju.
Hal itu cukup mengantarkan pada satu kesimpulan, bahwa politik elektoral yang dipraktikkan kaum oligarkis Indonesia akan berpotensi menjadi bom waktu menuju negara yang gagal. Maka, perlu kiranya dirumuskan politik alternatif untuk menggantikan politik elektoral oligarkis, namun tetap konstitusional. Sebagai masyarakat dengan statistik terbesar dalam hal penganut agama, umat Islam tentunya harus merumuskan konsep politik alternatif dengan suplai ideologis yang didapatkan dari ajaran Islam itu sendiri demi mewujudkan bangsa dan negara yang adil dan makmur. Selain itu dalam kehidupan demokratis, politik alternatif berbasis ideologi agama tidak serta merta diajukan secara frontal demi menjaga persatuan bangsa Indonesia. Oleh karenanya, konsep politik alternatif berbasis agama ini harus dirumuskan sedemikian rupa agar mudah diterima oleh seluruh elemen masyarakat lintas agama.
Dasar Ideologis Politik Alternatif
Politik Islam dipahami sebagai aktifitas penegakan nilai-nilai islam dalam kehidupan publik dengan berporos pada keadilan. Oleh karenanya politik islam tidak harus berbentuk partai politik, karena dapat ditegakkan dalam semua lini kehidupan.
Dalam surat Al-Anbiya ayat 107, “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia,” menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran yang memuat tentang kebaikan-kebaikan bagi seluruh manusia, bukan penganut Islam saja. Meskipun pada praktiknya islam hanya digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan, tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh perbuatan mengurus urusan publik yang didasarkan pada sumber ajaran Islam selalu menghasilkan kebaikan serta keadilan dalam ruang publik itu sendiri.
Penerapan ajaran tersebut tentunya harus memerhatikan kondisi sosial masyarakat setempat. Apabila Islam diterapkan secara tekstual saja dalam masyarakat, pasti akan terjadi konflik dan berbagai penolakan. Ajaran Islam bukan suatu sistem yang baku dan bisa diterapkan di seluruh bentuk masyarakat, justru ajaran islam adalah kumpulan nilai-nilai kebaikan yang dinamis yang dapat diterapkan di seluruh lini kehidupan.
Ajaran Islam dapat juga diterapkan dalam ranah perpolitikan. Salah satu surat dalam Quran yang relevan untuk dielaborasi, dijadikan inspirasi gerakan dan diimplementasikan adalah Al-Ma’un. Merujuk pada Al-Ma’un, Islam harus memberikan kontribusi yang nyata bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, bertolak dari Al-Ma’un, konsep politik yang hendak dibangun bertujuan untuk melindungi golongan neo-mustadhafin atau golongan-golongan yang tertindas.
Urgensi menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan publik, khususnya bertujuan untuk melindungi masyarakat dari penindasan, membutuhkan rumusan teoritis agar dapat diterapkan secara kontekstual dan direalisasikan. Karena kurang tajamnya teori Islam yang dirumuskan tentang upaya membebaskan rakyat dari himpitan hidup miskin, maka tidak mengherankan benar mengapa seorang Haji Misbach, Tan Malaka, hingga Alimin, atau yang lebih kita kenal dengan Haji Achmadi Moestahal (alumnus Pondok Pesantren Gontor, mantan tahanan Pulau Buru), memilih marxisme sebagai pedoman perjuangan pembebasan.
Teologi Al-Ma’un pada dinamika dan perkembangannya telah mengalami perkembangan sehingga menghasilkan wacana teologi baru yakni Teologi Mustad’afin. Teologi ini bermaksud untuk melakukan pembelaan sosial dari kondisi-kondisi; 1) ketertindasan akidah; 2) keterbelakangan; 3) penderitaan ekonomi dan status sosial; 4) penderitaan moral; dan 5) ancaman teologi-ideologi dan eksistensi Indonesia sebagai bangsa dan negara berfalsafah Pancasila. Teologi ini ditegakkan di atas prinsip tauhid yang diterjemahkan secara niscaya ke wilayah praksis sosial yang difokuskan terhadap perlindungan dan pembelaan golongan tertindas.
Golongan tertindas yang dimaksud adalah golongan yang terkena dampak buruk oleh politik elektoral para oligarkis. Praktik politik tersebut membuat golongan petani, buruh, dan rakyat kecil semakin termarjinalisasi dan teralienisasi. Meskipun mereka dilindungi hak pilihnya, hak-hak yang lain (seperti hak agar tanahnya tak digusur) tetap tidak terjamin dan terlindungi.
Pendapat dari golongan resisten yang memandang bahwa siapapun calon penguasanya, yang tetap menang adalah perusahaan kapitalis, patut diapresiasi dan didukung bahwa setiap gerakan yang tidak berkompromi dengan sistem oligarkis harus bertransformasi menjadi gerakan politik demi mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis. Oleh karenanya kritik terhadap praktik politik elektoral harus terwujud menjadi gagasan politik alternatif. Politik alternatif ini berasal dari implementasi spirit Teologi Mustad’afin yang mewajibkan untuk melindungi golongan neo-mustadhafin. Dengan kata lain, dasar ideologis gagasan politik alternatif ini adalah spirit Teologi Mustad’afin.
Realisasi Gagasan Politik Alternatif secara Konstitusional
Norma hukum pemilu dapat dijadikan tolak ukur sejauh mana peralihan kekuasaan berjalan demokratis, atau justru melanggengkan kekuasaan para elit oligarki dalam ranah kekuasaan. Dasar normatif yang perlu ditelaah untuk mewujudkan politik alternatif ini adalah Undang-Undang Pemilu No. 7 Thn. 2017 (UU Pemilu). Setidaknya ada tiga norma dalam UU Pemilu yang bisa dijadikan dasar realisasi gagasan politik alternatif.
Pertama, Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa untuk menjadi partai politik harus memenuhi sembilan persyaratan. Persyaratan tersebut yakni, berstatus badan hukum; memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; memiliki kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; memiliki kepengurusan di 50 persen kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; memiliki anggota sekurang-kurangnya seribu orang atau seperseribu jumlah penduduk pada kepengurusan partai di 100 persen provinsi dan 75 peresen tingkat kabupaten/kota; mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu; mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan menyertakan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
Berdasarkan aturan tersebut, dengan kata lain partai politik dipaksa harus bersifat nasional. Aturan ini tidak memberikan peluang bagi gerakan masa yang hanya sanggup meniti politik lokal dari satu daerah ke daerah yang lain. Aturan tersebut juga diperparah dengan syarat keanggotaan seribu atau seperseribu di setiap kepengurusan partai. Syarat ini menyebabkan munculnya keanggotan terpaksa. Kesimpulannya, norma tersebut menyaring peserta pemilu dengan kriteria partai berbasiskan massa yang luar biasa kuat.
Kedua, Pasal 222 UU Pemilu. Aturan ini berkenaan dengan ambang batas pencalonan presiden yang mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh Partai Politik maupun Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit dua puluh lima persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Norma ini jelas mencegah partai baru dapat tampil menyuguhkan pilihan calon pemimpin alternatif dan jelas memperlihatkan bahwa kekuatan politik lama ingin terus berkuasa.
Ketiga, Pasal 327 UU Pemilu terkait sumbangan dan batas dana kampanye. Pasal tersebut mengatur bahwa dana Kampanye yang berasal dari perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 326 tidak boleh melebihi Rp. 2.500.000.000,00 dan dana Kampanye yang berasal dari kelompok, perusahaan atau badan usaha nonpemerintah tidak boleh melebihi Rp. 25.000.000.000,00. Dibandingkan dengan Pemilu 2014, jumlah tersebut meningkat hampir 400 persen. Pembuat regulasi ini telah memprediksi bahwa oligarki akan semakin berperan dalam merumuskan kebijakan pemerintah dan sikap politik pemerintah. Selain itu regulasi ini membuat posisi oligarkis ketika nantinya hendak mempraktikkan politik balas jasa.
Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari tiga norma hukum tersebut. Pertama, aturan tentang peralihan kekuasaan kita belum mencerminkan sistem demokratis dan berkeadilan. Kedua, aturan tersebut akan melanggengkan kekuasaan oligarki atau melahirkan oligarki baru yang berkompetisi di panggung politik selanjutnya.
Sebenarnya ada 2 ruang yang dapat dimanfaatkan untuk membawa politik alternatif ke ranah politik elektoral dan pemerintah. Yakni pemilihan kepala daerah dari jalur independen dan pencalonan anggota DPD tahun 2024. Ruang pertama memang sulit untuk diterapkan mengingat syarat untuk menjadi calon independen memang berat. Ruang kedua dapat dimanfaatkan serta dipermudah oleh adanya putusan MK No.30./PUU-XVI/2018 yang melarang calon DPD dari unsur partai politik untuk menghindari representasi ganda dalam sistem parlemen dua kamar.
Selain dua ruang itu, masih ada satu ruang lain yang dapat dimanfaatkan namun memerlukan solidaritas dan konsolidasi dengan gerakan-gerakan massa untuk menempuh perjuangan politik mengajukan uji materi berulang-ulang terhadap syarat pembentukan partai politik berbadan hukum dalam UU Pemilu dan syarat partai politik peserta pemilu dalam UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Realisasi Politik Alternatif dalam Ruang Publik Lintas Agama
Menyampaikan gagasan politik alternatif dengan berdasar spirit Teologi Mustad’afin kepada masyarakat secara luas akan menemui tantangan tersendiri. Alasannya karena Negara Indonesia merupakan bangsa dengan masyarakat majemuk yang terdiri atas agama-agama, ras, suku-suku yang berbeda. Untungnya, Indonesia menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik yang dilegalkan dengan amanat konstitusi untuk menerapkan konsep demokrasi.
Politik yang disepakati oleh pendiri bangsa Indonesia mengimajinasikan demokrasi sebagai konsep utama dalam aktifitas mengurus urusan publik. Konsep demokrasi dipraktekkan di seluruh dunia secara berbeda-beda dari negara yang satu dengan negara yang lain. Demokrasi sudah menjadi paradigma dalam bahasa komunikasi dunia mengenai sistem pemerintahan dan sistem politik yang dianggap ideal. Oleh sebab itu, menurut Ni’matul Huda, tidak dapat dibantah bahwa demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik di dalam sistem politik dan ketatanegaraan.
Demokrasi menuntut agar segala urusan publik harus diselesaikan dengan cara diskrusus di antara masyarakat. Hasil dari diskursus ini (konsesi) akan menjadi keputusan bersama di yang mengikat bagi semua masyarakat. Beranjak dari fakta bahwa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dan memiliki pegangan ideologi yang berbeda-beda, konsensus tersebut pasti sulit untuk dicapai. Oleh karena itu sangat relevan apabila demokrasi memang harus bersifat sekuler.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah, bagaimana peran agama di ruang publik yang harus bernuansa sekuler tersebut. Tesis dari Jurgen Habermas dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menguraikan bagaimana agama dapat berperan dalam ruang publik. Secara umum makna kebenaran dibagi menjadi dua macam yakni kebenaran objektif dan kebenaran subjektif. Dalam kehidupan publik, kebenaran subjektif yang diterima dan disepakati oleh seluruh warga publik ini yang disebut kebenaran intersubjektif.
Peran agama dengan proses sejarah yang panjang akan digantikan oleh tindakan komunikatif konsensus-konsensusnya. Perubahan peran agama ini tidak terlepas dari modernisasi yang menuntut kehidupan publik menjadi semakin rasional. Sedangkan di masa senjanya, perubahan perspektif Habermas tentang agama sangat kentara.
Di usia senjanya, Habermas menyatakan bahwa agama tidak begitu saja hanya dipaksa berada di ruang privat masyarakat. Tetapi, di lain pihak Habermas tetap berpegang pada tradisi liberal yang meyakini “akal budi bersama umat manusia” sebagai dasar pemisahan Gereja dan negara serta dasar kekuasaan negara modern yang tidak tergantung lagi pada legitimasi agama. Bagi Habermas, agama perlu tampil di ruang publik untuk menyerukan gagasan-gagasan keagamaannya.
Bagi Habermas, agama bukan sekedar atribut sosial, seperti keanggotaan dalam sebuah partai atau kelompok profesi, yang dapat dengan cepat diganti oleh atribut sosial lain, melainkan sebuah “comprehensive worldview”. Habermas juga menyatakan bahwa keyakinan yang bersumber dari iman umat beragama dapat menjadi kekuatan kritis terhadap ketidakadilan. Oleh karenanya peran agama dalam suatu masyarakat demokratis adalah sebuah keniscayaan.
Problemnya adalah bagaimana menyuarakan gagasan yang berasal dari ruang privat (agama) ke dalam ruang publik? Cara yang paling mungkin dilakukan adalah dengan mentransliterasikan gagasan keagamaan menjadi suatu gagasan yang dapat diterima oleh masyarakat umum. Gagasan yang selanjutnya bisa didiskusikan lebih lanjut dalam ruang publik.
Islam sebagai salah satu agama di Indonesia tentu harus mengambil bagian dalam aktifitas mengurus urusan publik terkhusus pada perannya sebagai politik alternatif dalam politik elektoral di Indonesia. Spirit yang terkandung dalam politik alternatif tersebut tidak harus secara frontal disebut sebagai spirit Teologi Mustad’afin. Alasannya agar solidaritas merealisasikan politik alternatif tersebut tidak tumbuh dari masyarakat Islam saja, tetapi juga melibatkan masyarakat penganut agama lain. Oleh karena itu metode transliterasi gagasan keagamaan dalam hal ini gagasan politik alternatif berdasarkan spirit Teologi Mustad’afin terbagi menjadi tiga tahap.
Pertama, perubahan kata keagamaan. Secara sederhana bisa dimaknai sebagai proses sekularisai kata atau kalimat dalam gagasan tersebut ke dalam bentuk lain yang dapat diterima oleh masyarakat umum. Dalam hal ini bisa dicontohkan seperti perubahan kata “silaturrahim menjadi kata persaudaraan”. Selain itu dapat dicontohkan seperti perubahan kata “hijrah” menjadi kata “usaha menjadi lebih baik”. Pada ranah gagasan politik alternatif berdasarkan Teologi Mustad’afin ini dapat ditransliterasi sebagai “politik alternatif berdasarkan semangat pembebasan yang memihak golongan tertindas”.
Kedua, argumentasi untuk meyakinkan gagasan tersebut demi kebaikan. Pada dasarnya metode argumentasi ini telah tercantum dalam QS. Al Hijr ayat 6, QS. At Takwiir ayat 22, QS. Al Qamar ayat 9, QS. Asy Syu’araa’ ayat 27-28, QS. Al A’raaf ayat 66-67, dan QS. Adz Dzaariyaat ayat 52. Surat-surat tersebut juga dipraktikkan oleh para rasul dalam menyampaikan ajarannya. Para rasul adalah orang-orang jenius di zamannya. Karena itu mereka selalu bisa memberikan argumentasi kepada masyarakatnya tentang ajaran-ajaran yang dibawanya. Oleh karena itu gagasan politik alternatif ini perlu diargumentasikan urgensinya dengan tetap menggunakan metode pertama yakni sekulerisasi kata keagamaan.
Ketiga, demi merumuskan argumentasi yang baik dan valid maka perlu pembuktian atas urgensi gagasan politik alternatif tersebut. Pembuktian disini bertolak dari fakta bahwa Allah selalu memberikan bukti-bukti kepada manusia terhadap apa yang diajarkan-Nya. Setiap rasul membawa bukti kebenaran. Karena memang sudah menjadi pembawaan manusia untuk membantah. Oleh karena itu argumentasi terhadap urgensi politik alternatif perlu dibuktikan dengan memberikan data-data terkait ketimpangan sosial dan penindasan akibat praktik politik elektoral oligarki di Indonesia.
Metode transliterasi pada gagasan politik alternatif ini akan efektif apabila ketiga tahap tersebut diterapkan dengan baik sehingga dapat meredam penilaian “watak diskriminatif” umat Islam oleh penganut agama lainnya dalam hal aktifitas mengurus urusan publik. Sehingga selanjutnya gagasan politik alternatif berdasar Teologi Mustad’afin tersebut bisa didiskusikan lebih lanjut dalam ranah kehidupan publik yang majemuk.
Politik Alternatif
Urgensi menyuarakan gagasan politik alternatif di Indonesia merupakan reaksi dari politik elektoral oligarkis yang terbukti menyengsarakan dan atau menindas beberapa golongan masyarakat. Berdasarkan statistik yang menunjukkan bahwa masyarakat islam di Indonesia menjadi golongan mayoritas bangsa Indonesia, sudah sepatutnya gagasan politik alternatif ini beranjak dari spirit keagamaan mayoritas. Namun kendala utama dalam menyuarakan aspirasi keagamaan tersebut di ruang publik majemuk harus melalui metode transliterasi agar gagasan berbasis keagamaan tersebut dapat diterima di ruang publik. Oleh karena itu, langkah konkrit yang paling mungkin diimplementasikan saat ini adalah mengajukan uji materi berulang-ulang terhadap syarat pembentukan partai politik berbadan hukum dalam UU Pemilu dan syarat partai politik peserta pemilu dalam UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Tentunya tetap berangkat dari spirit Teologi Mustad’afin.
*) ditulis oleh M. Akbar Hidayatullah
0 Comments for "Politik Alternatif Melalui Spirit Teologis"
Silakan tulis komentar anda!