Riyan Betra Delza |
Seringkali, dikatakan bahwa tindakan seseorang atau kelompok tergantung pada tingkat pengetahuan (rasional)-nya. Realita sosial kenyataannya tidak selalu demikian. Meskipun sebuah gerakan selalu dimulai oleh tindakan atas dasar motif alasan yang rasional, kita tidak boleh lupa bahwa persiapan untuk menuju gerakan itu sendiri tidak akan bisa mempengaruhi orang banyak sebelum alasan-alasan tersebut berubah menjadi hal yang sentimentil. Inilah yang dijelaskan Gustave Le Bon dalam Psikologi Revolusi. Ada empat aspek yang mempengaruhi bagaimana individu atau kolektif melakukan perlawanan menurut Le Bon: logika mistis, logika rasional, logika afektif, dan logika kolektif.
Dari manapun asalnya, revolusi tidak akan produktif sebelum ia merasuk ke dalam jiwa banyak orang. Logika rasional digunakan untuk menunjukkan penyalahgunaan prinsip-prinsip yang harus dihancurkan. Namun berbagai harapannya harus dibangkitkan dan dikembangkan menjadi sesuatu yang menggerakkan banyak orang. Hal ini merupakan domein afeksi dan mistis yang mampu memberikan kekuatan pada manusia untuk bertindak. Pada saat revolusi Prancis, logika rasional yang dianut oleh para pemikir digunakan untuk menunjukkan kekurangan rezim lama dan membangkitkan keinginan untuk mengubahnya.
Logika mistik menginspirasi keyakinan terhadap kebaikan-kebaikan yang dibangun di dalam jiwa masyarakat berdasarkan kaidah-kaidah tertentu –agama, keyakinan, dan kepercayaan. Logika afektif mampu memberikan kebebasan hasrat banyak orang yang sebelumnya dibatasi, dan mampu menyebabkan berbagai perbuatan-perbuatan yang kadang tidak terpikirkan. Di akhir, logika kolektif digunakan untuk menghimpun dan merajut majlis-majlis, dewan-dewan yang tak akan pernah terdorong oleh logika rasional, afektif, ataupun mistis.
Bagi Le Bon, logika mistis penting dalam sebuah revolusi. Hal ini jarang diungkapkan oleh para pemikir-pemikir gerakan sosial. Le Bon membagi konsep revolusi menjadi tiga; revolusi ilmiah (sains), revolusi agama, dan revolusi politik. Jika revolusi ilmiah semata-mata berasal dari kegelisahan logika rasional, berbeda dengan revolusi agama dan politik yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor afektif dan mistis. Nalar hanya memainkan bagian yang lemah dalam revolusi politik dan agama.
Sebuah kepercayaan politik atau agama merupakan tindakan keyakinan yang terendap melalui ketidaksadaran, bagaimanapun penampilannya, kuasanya tidak dipegang oleh nalar. Orang yang sudah terhipnotis oleh imannya, ia siap mengorbankan kepentingan, kebahagiaan, dan bahkan nyawanya untuk kemenangan imannya. Kekuatannya bisa mendominasi pikiran dan hanya dapat dipengaruhi oleh waktu. Kekuatan dari keyakinan politik dan agama, yang telah menggerakkan dunia, dilahirkan oleh unsur mistis dan afektif. Karena itu, keyakinan tidak hanya diciptakan atau diarahkan oleh nalar.
Meski sekarang kita hidup di dunia yang serba rasional dan positivistik, namun tak bisa dipungkiri bahwa sejarah gerakan dan revolusi kebanyakan, mesti tidak semua, diwarnai dengan hal-hal yang sarat akan hal mistis/keyakinan. Lihat saja bagaimana sejarah revolusi selalu menyematkan mistifikasi pada aktor atau keyakinan tertentu. Sebagai contoh, sejarah revolusi agama selalu menghasilkan revolusi politik pada periode kenabian, revolusi Indonesia menyematkan tokoh-tokoh revolusioner sebagai ‘Juru Selamat’, revolusi Prancis dan Iran dengan semangat agamanya-Katolik dan Islam, revolusi Soeharto juga menyelipkan mistifikasi atheisme dan intoleransi pada simpatisan kelompok kiri. Termasuk, perjuangan sedulur sikep dan JMPPK juga mengatribusikan bahwa alam, gunung, dan agraria adalah ibu bumi. Tak bisa dipungkiri, sepolitis apapun, aksi umat beragama akhir-akhir ini juga banyak dipengaruhi oleh faktor mistis ini.
Psikologi dan Prospek Gerakan Sosial
Merujuk pada beberapa hal di atas, agaknya perlu bagi kita menggunakan kerangka analisis yang digunakan dalam perspektif psikologi untuk menganalisa dan merancang sebuah gerakan sosial. Berbekal dari pandangan Bert Klandermans, Schussman & Soule, Gustav Le Bon di atas, penulis ingin menambahkan elemen penting pada diskursus gerakan sosial saat ini, di era dimana mewacanakan rasa ketidakadilan seolah menjadi hal yang tabu.
Tidak jarang kita mendengar bahwa kemiskinan, kesengsaraan, dan keterbelakangan adalah cobaan. Tak jarang pula, identifikasi atas ketiganya sering terjebak dalam logika blaming the victim (menyalahkan si korban). Ada pula anggapan bahwa ketidakadilan terjadi karena kesalahan prosedur serta tidak berjalannya fungsi institusi politik. Inilah pandangan-pandangan fungsionalisme.
Dengan pandangan ini, akhirnya sebuah gerakan sosial terjebak pada paradigma konformis-reformis. Padahal, banyak problem sosial tidak bisa tuntas hanya dengan cara mengurangi penderitaan seseorang, mendoakan, serta berharap agar masalah akan selesai dengan sendirinya. Problem sosial juga tidak bisa diatasi peningkatan keterampilan, membuat struktur yang ada bekerja dengan baik, dan menghilangkan permasalahan yang silih berganti terus menerus. Bagaikan memukul nyamuk satu persatu tapi tidak memberangus ladang nyamuknya. Mungkin dalam situasi tertentu, pandangan ini masih relevan.
Namun di tengah krisis ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan ini, paradigma fungsionalisme memiliki kekacauan di sana sini, utamanya pada titik identifikasi terhadap akar masalah berikut penyelesaiannya. Perspektif kelas dihindari, diskursus kesenjangan bahkan dilihat karena lemahnya peran pemangku jabatan, saran dan rekomendasi diagungkan. Inilah yang menyebabkan kenapa seabrek problem sosial tak lantas menyulut gerakan sosial yang luas.
Secara psikologis, masyarakat menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Jika masalah tidak terus terjadi dan tak pernah henti, maka masyarakat akan mengalami kegusaran. Potensi kegusaran yang terus menerus terjadi akan terbentuk menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap “musuh”. Kegusaran, kemarahan, dan ketidakadilan akan selalu tercerai-berai. Di sinilah peran agen dalam gerakan sosial menjadi krusial untuk mengorganisir kemarahan kolektif. Inilah pekerjaan rumah kita. Rasa ketidakadilan harus ditransformasikan, identitas “kita” dan “mereka” harus ditegaskan, sehingga peluang terjadinya perubahan secara radikal terbuka lebar.
*) ditulis oleh Riyan Betra Delza (Ketua Perhimpunan Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Mercubuana Yogyakarta)
0 Comments for "Psikologi Revolusi Sebagai Vaksin Pemersatu Bangsa (Refleksi Pemikiran Gustave Lebon) "
Silakan tulis komentar anda!