'Berjalanlah dimuka bumi,' ke-5.
Salah satu film animasi anak-anak favorite-ku adalah film Coco. Dia menjadi film favoritku karena mengangkat teman yang bagi sebagian dari kita & terlebih lagi bagi anak-anak adalah hal yang sangat menyeramkan. Yaitu Kematian. Film ini mengambil latar belakang tradisi hari kematian (Dia de los muertos) dari budaya meksiko.
Pada hari kematian warga meksiko berkumpul untuk mengenang teman & keluarga yang telah meninggal. Yang menarik, justru hari kematian dirayakan seperti sebuah pesta perayaan yang meriah penuh suka-cita & canda-tawa, bahkan jauh dari kesedihan & kehilangan. Film Coco mengambarkan petualangan tokoh utamanya Miguel di dunia orang-orang mati dengan penuh keceriaan, keseruan & tawa renyah.
Kematian memang tidak diingini oleh orang-orang yang cinta dunia. Bagi mereka, memikirkan kematian seperti masuk ke lubang yang menyeramkan, menakutkan, hitam, kelam, merisaukan hati & ancaman siksa neraka. Selain itu orang-orang yang tertipu pada dunia seringkali terobsesi menghindari kematian sebisa mungkin. Persis seperti yang dikatakan sepengal sajak "Aku-nya" Chairil Anwar: "Aku ingin hidup seribu tahun lagi".
Ini Teks lengkapnya sajak itu:
Aku*
"Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu seduh sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi"
Berkaitan dengan kematian. Dalam sajak yang terkesan sebagai pribadi individualistik atau lo-elo, gw-gw itu, Chairil Anwar mungkin sedang mengamati prilaku manusia dizamannya bahwa kita semua terobsesi dengan usia hidup lebih panjang. Lebih dari 1000 tahun lagi, tidak pernah berubah. Oh ya, Bahkan lagu indonesia "selamat ulang tahun" dimulai dengan lirik: panjang umurnya.. Panjang umurnya.. Serta mulia..
Namun, pada saat kita mengantarkan teman atau saudara yang mendahului kita keliang lahatnya. Makan biar bagaimanapun-juga, pengalaman kita selama hidup ini, mau tidak mau, tetap mengakui, bahwa kematian adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari lagi, apabila waktunya datang. Jadi secara insting lewat pengalaman-pengalaman selama ini, kita menyadari bahwa kematian pasti akan mendatangi kita. & dengan begitu, seharusnya kematian tidak menakutkan kita, karena kematian adalah proses alami. Maka, seharusnya kematian itu adalah proses yang membahagiakan, bukan malah menyedihkan atau menakutkan. Artinya, dalam perjalanan hidup ini, yang penting bukanlah usia yang panjang. Namun seberapa berbahagianya hidup yang kita jalani.
Orang yang bahagia pasti menjalani hidupnya dengan berkualitas. Dengan demikian, kualitas hidup itulah yang menjadikan hidup ini panjang jika kita tahu bagaimana cara mengunakannya. Sebenarnya kita tidak diberi "waktu" hidup yang pendek, tetapi kitalah yang menjadikan hidup menjadi pendek, & waktu kita boroskan hingga terbuang sia-sia.
"Maka pada hari ini orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir". (QS. Al-Muthaffifin: 34)
"Niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (QS. Al-Baqarah: 38.
Waktu Hidup kita bisa terlalu banyak dihabiskan dalam mengurusi hal-hal yang sebenarnya bisa dicari, misalnya, makan, minum & seks atau harta, tahta & senjata. (Untuk soal ini silakan Baca: posting seri berjalanlah dimuka bumi ke-4",). Di sini Poins-nya adalah hal-hal seperti makan, minum & seks atau sandang, pangan & papan atau harta, tahta & senjata itu banyak menghabiskan waktu (energi & emosi) kita: jika itu kecemasan maka ia adalah kecemasan yang sia-sia karena hal-hal itu ada diluar diri kita yang bisa dicari jika tak punya, namun sudah jadi milik kita hal-hal itu bukan berada di dalam kontrol kita. Tapi hal-hal itu justru mengalihkan hidup kita dari hal-hal yang seharusnya kita kejar habis-habisan.
Anehnya, kita lebih senang mengejar "makan, minum & seks" atau "harta, tahta & senjata" yang berlebihan sampai-sampai kita rela menjadikan diri kita lebih rendah dari binatang, bahkan lebih nista daripada setan. Kita terus mengejarnya sampai kita merasa ketakutan. Baik takut gagal mendapatkannya atau takut kehilangan jika berhasil mendapatkannya. & pada akhirnya, hidup hanya dari cemas ke cemas berikutnya, lahir-batin menderita, tidak bahagia. Padahal kita semua sadar bahwa hidup hanya menunggu kematian. Maka percuma jika kita hidup 1000 tahun lagi jika isinya hanya derita & cemas lahir-batin.
Banyak dari kita yang tidak bisa melihat indahnya kehidupan ini. Mereka hanya membuka matanya untuk harta, tahta & lawan seks belaka. Maka walau pun berjalan melewati sebuah sawah-ladang yang hijau, bunga-bunga yang cantik mempesona, air jernih deras memancar, kicau burung-burung riang, perpustakaan yang penub buku kebijaksaan, & kekasih hati yang mempesona karismanya, mereka sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Di mata & pikirannya hanya harta, tahta & syawat bercinta dengan orang-orang yang mengoda. Padahal kalau dipikir dalam, semua itu tak bergitu ada gunanya.
Sebagaimana awal tulisan ini dimulai dengan film favoritku, maka aku akan akhiri tulisan kelam ini dengan sisi lucu: "Aku harus mati. Jika sekarang saatnya, biarlah aku mati sekarang. Jika masih nanti, maka biarlah aku makan malam dulu sekarang. Karena jam makan malam sudah tiba. Soal mati, biarlah nanti tak urus." bukankah lebih baik seperti itu saat kita menghadapi kematian, simpel, penuh keriangan, canda tawa renyah, & ceria.
Lamongan 6 Nomember 2020
Penulis: Rifki Taufik
0 Comments for "Berjalanlah dimuka bumi,' ke-5-Rifki Taufik"
Silakan tulis komentar anda!